Selasa, 03 November 2009

jalur Banten Selatan

jalur Banten Selatan

Berikut ini terjemahan dari buku yang sama, tentang
jalur Banten Selatan.

Jalur Banten Selatan (Saketi-Bayah)

Terutama setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut
(akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan
masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian
besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan
sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah
sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas
Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan
perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu
bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang
memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di
sekitar Bayah sebagai bahan bakar. Jepang mendapatkan
sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan
batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton.
Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara per
tahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan
batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan
terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya
sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada
masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa
perang.

Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu,
dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah
stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di
selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada
bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun
1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa
ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar
perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan
keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan
jalur ini. Seperti juga di Sumatera, kerja terberat
dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para
romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena
kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang
diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum
termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah
berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba,
rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas.
Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan,
tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas,
namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut
untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini
sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh
diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan
untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur
telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61
tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif
BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.

Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di
Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh.
Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari
stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki
sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu,
Kaduhauk, Jalusang, Pasung, Kerta, Gintung,
Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara,
Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur). Masing-masing
stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan
stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain
stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil
dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah
menggunakan sinyal Alkmaar.

Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa
ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api
penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang,
sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api
atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang
bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.
Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur
Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan
ujung-ujung dari batu.

Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan
material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang
ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah
beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar